Monday, January 17, 2011

::. Kerana Sebiji Epal .::

.:: Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang ::.

Assalamu'alaikum...

Semasa mencari kisah tentang Abu Hanifah... saya terjumpa kisah ini...

:: seorang lelaki dan sebiji epal ::








Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan sendiri, di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak terhumbang-hambing berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencuba untuk tetap meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil berair cukup jernih.

“Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan dahagaku.” Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.

Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya pun berteriak minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum makan.  Sepanjang melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun.  Jangankan haiwan liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.
Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau lebih tepat pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk mengembara melintasi bumi Allah, sekadar mencari pengalaman hidup dan berguru pada mereka yang ditemuinya.

Tanpa sedar kerana lapar dan ngantuk yang mulai menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu. Dipandanginya lebih tepat. Ya, itu adalah buah, seperti buah epal kerana merah warnanya. Bangkit dari duduknya, kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk menarik buah itu ke tepi.

“Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm, lazat sekali epal ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.” Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti mengunyah epal tersebut.

“Astaghfirullah, buah ini belum diketahui siapa yang empunya, sudah aku makan tanpa keizinannya.” Sejenak kemudian mengalir air matanya.Teriesak dia.

“Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah epal yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berpikir mencuba mengolah isi hatinya. Satu sikap yang jarang diketemui dewasa ini.

Zaman ini kejujuran begitu sukar ditemui. Kejujuran sudah menjadi barang antik, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong epal, wang berjuta mengelabui mata, sambil tidak ada niat untuk mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan barang-barang pejabat untuk keperluan peribadi, sudahkah kita menghalalkannya?

“Aku harus menemukan sumber dari buah epal ini. Bertemu dengan pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan satu buah epal ini untuk menjadi rezekiku.”

Bergegas ia membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan menyusuri sungai kecil itu untuk menemukan sumber buah epal yang dimakannya. Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya itu. Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat situ, juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian terhenti pandangannya pada sebuah rumah yang sederhana namun cukup ceria yang menunjukkan penghuninya adalah orang yang rajin menjaganya. Menujulah ia kesana dengan harap-harap cemas dapat bertemu pemiliknya.

Pemuda Tsabit sesekali membandingkan epal yang ada di tangannya dengan epal yang ada di sekitar kebun itu. Tsabit yakin epal yang ada di tangannya itu berasal dari kebun itu.

“Assalamu’alaikum..”

“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”

Sesusuk lelaki separuh baya muncul dari balik pintu.
“Siapakah engkau wahai anak muda?”

“Nama saya Tsabit bin Ibrahim (orang arab biasa mem'bin'kan nama keturunan yang terkenal mereka agar lebih dikenali dari keturunan mana), apakah tuan pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?

“Betul, sayalah pemiliknya.”

“Apakah kebun epal itu juga milik tuan?”

“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah."

“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”

“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Di situ kemudian saya temukan beberapa buah epal yang terapung. Kerana lapar yang telah begitu mendera , saya ambil dan saya makan. Saya baru sedar bahawa buah ini pasti ada yang punya sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemukan kebun dan rumah Tuan” jelasnya sambil memperlihatkan buah epal yang tinggal separuh.

“Hmm….”, lelaki pemilik rumah itu bergumam pendek.
“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah epal ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah epal ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya.

Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyapu air mata yang menggenang..

Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan soleh. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan epal yang ditemukan di pinggir sungai.

Ia merenung, “Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang alim, yang takut pada Allah kerana telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?” Untuk tujuan menjawab pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun epal memutuskan untuk menguji anak muda tersebut.

Setelah beberapa saat pemilik kebun epal berkata dengan roman muka yang masam. “Anak muda, saya tidak boleh begitu mudah memaafkan kamu, saya punya persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat idea untuk menguji anak muda ini.

“Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk epal yang telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk itu, engkau boleh menduduki gudang di sebelah itu sebagai tempat bernaungmu.”

Awalnya pemuda Tsabit bercadang untuk membayar epal itu, tetapi pemilik kebun epal tidak mengizinkannya. Tercegat pemuda itu mendengar ucapan si orang tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut, menimbang-nimbang. Akhirnya, setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi segera ia menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun epal itu.

"Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi suratan nasib saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.”

Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya selalu memohon keberkahan dalam amalan hidup yang dijalaninya.
Setelah 3 tahun berlalu, anak muda itu kemudian menemui pemilik kebun.
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”

Pemilik kebun epal sedar, bahawa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah memikat hatinya dan kerananya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja.

Pemilik kebun epal sejenak kemudian menjawab, “Tunggu dulu anak muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan. Persayaratan terakhir adalah engkau harus menikahi putri kesayanganku. Yang perlu engkau ketahui bahawa ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak mampu berjalan, tidak boleh mendengar dan tidak boleh melihat. Seandainya engkau menerimanya sebagai isteri, maka kuikhlaskan buah epal dari kebunku yang engkau makan waktu itu.”

Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sukar. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit. Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi. Tsabit merenung, begitu aneh peranannya dalam kehidupan yang telah terjadi, hanya kerana menemukan epal yang sedang menerapung di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah dengan wajah pucat lesi Tsabit berkata :

“Duhai, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu mengharapkan isteri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan mahkota permaisuri di kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu doanya dalam hati.

Namun dia tidak ada pilihan kecuali, “Ya, saya menyetujui persyaratan Tuan, dengan begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya lelaki yang teguh memegang janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang semoga dapat meningkatkan ketakwaannya.

Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun epal secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju kamar pengantin, di mana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Tsabit merasa takjub dan terpinga-pinga;

“Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit bergegas meninggalkan kamar dan sebentar kemudian ayah wanita itu datang menghampirinya.

“Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencuba menjelaskan dengan wajah tersipu malu.

“Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.” jawab si pemilik kebun epal yang sekarang telah menjadi mertuanya.

“Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan katakan.”

Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, kerana ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, kerana sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi al-Qur’an dan kata-kata Rasululllah saw.”

Subhanallah…. sungguh kesolehan seorang muslimah sejati. Hal Ini juga sudah jarang ditemui. Dewasa ini kita begitu sukar menemukan seorang muslimah yang “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin ada, tetapi begitu sukar menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang dimiliki oleh Tsabit.

Kerana alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada Tsabit, kerana dia telah yakin bahawa Tsabit cocok mendampinginya. Kerana takut pada sari epal yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan.

“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah swt memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang soleh. Saya memberikan kebun epal ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”

Setelah mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menemui pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha).

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Tsabit telah memakan setengah buah epal, terus mencari pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam. Kemudian dia sanggup untuk berkerja selama 3 tahun hanya kerana supaya pemilik kebun menghalalkan sebiji epal yang hanya dimakannya separuh serta terpaksa menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahawa puterinya tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi kehalalan sebuah epal. Namun kerana ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari Allah.

Kita seringkali mendengar dari orang bagaimana untuk memilih calon isteri seperti yang di suruh nabi junjungan besar kita Nabi Muhammad saw.

"Dinikahi perempuan itu kerana empat perkara: kerana Hartanya,Keturunannya,Kecantikannya dan Agamanya. Maka pilihlah dalam hal keagamaannya, nescaya beruntunglah kedua-dua tanganmu"

(HR Bukhari dan Muslim)

Dari hadith tersebut dapat membayangkan kita bagaimana syarat-syarat yang terbaik bagi seorang lelaki untuk mencari pasangan hidupnya,di dunia mahupun di akhirat.

Tetapi cuba kita renungkan,adakah adil bagi kita seorang lelaki memiliki seorang perempuan seperti yang di gambarkan dalam hadith tersebut jika sendiri tidak memiliki ciri-ciri seorang yang sekufu dengan ciri-ciri yang di sebut dalam hadith tersebut,dalam hal ini sejujur Tsabit bin Ibrahim yang di ceritakan di atas. Allah pernah berfirman dalam al-Qur'an yang menyebut..

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk lelaki-lelaki yang keji, dan lelaki-lelaki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki-lelaki yang baik dan lelaki-lelaki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik....."

(QS An-Nur: 26)

Pengajaran dari kisah Tsabit tadi telah membuatkan saya terfikir… adakah lagi lelaki yang sejujurnya di zaman ini selain dari saya bertanya kepada diri sendiri apakah diri saya ini memiliki satu sifat terpuji sepertinya…

Sesungguhnya orang jujur, mengotakan janji dan sabar serta berserah kepadaNya adalah tergolong dalam orang-orang yang kasihi Allah…


Wallahu'alam...~




.:::ANNAEM:::.
-jakartabarat-
-isnin, 0020, 17012011-